Rabu, 08 Februari 2012

Agama, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat untuk Hidupku



Agama,  ilmu pengetahuan, dan filsafat adalah tiga hal yang paling mempengaruhi pemikiranku. Oleh karenanya, setiap opini, gagasan, argumen, hingga bahkan perilakuku banyak terilhami oleh ketiganya. Agama dan ilmu pengetahuan adalah apa yang biasa aku pikirkan, sementara filsafat adalah bagaimana caraku memikirkan agama dan ilmu pengetahuan itu. Seandainya aku dianggap subjek, maka agama dan ilmu pengetahuan adalah objek, sedang filsafat adalah saranaku mencapai objek itu.
Islam adalah agamaku.  Dengan demikian, agama yang aku maksudkan disini adalah Islam.  Tidak bisa aku pungkiri bahwa Islam memberi  pengaruh positif yang tidak kecil nilainya bagi kehidupanku. Memang aku akui, aku mendapati Islam adalah bukan dari diriku sendiri, melainkan dari kedua orang tuaku (dalam keyakinanku tentu saja itu tidak bisa lepas dari campur tangan Allah, Tuhanku). Seandainya kedua orang tuaku tidak beragama Islam, aku tidak yakin aku bisa mengenal Islam dan menjadi seorang Muslim seperti sekarang.
Saat kecil dulu, dimana kapasitas memoriku masih belum terisi, orang tuaku sudah menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam otakku. Orang tuaku bukan tipe Muslim konservatif, beliau berdua adalah sosok yang moderat, toleran, dan terbuka. Meskipun begitu, mereka tetap selektif terhadap perkembangan zaman. Saat kecil itu, aku banyak diajari mengenai Allah yang memiliki sifat segala Maha dengan nabi-nabinya yang mulia, perihal Malaikat dan setan, perihal ibadah dan maksiat, pahala dan dosa, halal dan haram, serta Islam yang cinta damai.
Dalam perkembangannya, saat usiaku memasuki masa-masa sekolah, orang tuaku tidak memasukkanku ke pesantren atau madrasah, melainkan Sekolah Dasar (SD) bertitel Negeri di desaku. Di sekolah itu, aku masih mendapati mata pelajaran agama Islam, di samping juga pada sore atau malam hari aku masih aktif mengaji di masjid.
Di sekolah, kemudian aku mulai mendalami ilmu pengetahuan sebagaimana yang biasa diajarkan pada umumnya. Sebelum itu, orang tuaku memang sudah terlebih dahulu mengenalkanku mengenai hakikat ilmu pengetahuan itu (tentu saja sesuai dengan kapasitas pengetahuan beliau yang ala kadarnya). Dikatakannya pada waktu itu bahwa agama dan ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan sama-sama anugerah Tuhan kepada umat manusia, maka dari itu aku harus mendalaminya. Dengan begitu, meskipun kajian dan orientasi dalam agama dan ilmu pengetahuan  tidak lah serupa, aku tidak sampai kaget dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah itu.
Sejak saat itu, aku menjadi sangat tertarik pada angka, logika, dan bahasa yang tentu saja menjadi bagian dari ilmu pengetahuan pada umumnya, hingga kemudian aku bertekad untuk terus mempelajarinya.  Aku sering terkagum kepada para ilmuwan hebat sampai-sampai aku pernah bercita-cita menjadi ilmuwan sebagaimana mereka.
Ketika mempelajari ilmu pengetahuan, sering aku jumpai ilmuwan yang juga merangkap sebagai seorang filsuf dengan gagasan dan pemikirannya yang luar biasa menurutku. Beriringan dengan itu, aku mulai mengenal dunia filsafat yang juga sama uniknya dengan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan dan filsafat memang sangat erat kaitannya. Ilmu pengetahuan lahir dari rasa penasaran yang dilanjutkan dengan perenungan dan proses berpikir yang panjang hingga dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah lahir dari filsafat. Maka, adalah tidak keliru jika seorang  filsuf kenamaan mengatakan bahwa filsafat adalah ibu kandung dari semua ilmu pengetahuan.
Seiring berjalannya waktu, aku menjadi tertarik dengan filsafat. Filsafat mengajarkanku untuk berpikir objektif dalam memahami sesuatu. Filsafat selalu melihat segala aspek dengan beberapa sisi yang berbeda, baru kemudian merumuskan gagasan terbaik diantara beberapa sisi itu. Oleh karenanya, juga adalah tidak keliru jika muara filsafat adalah kebijaksanaan sebagaimana etimologi dasarnya.

Mungkinkah dipadukan?

Pasca memahami agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan, aku pernah menjadi bertanya-tanya: mungkinkah menyatukan ketiganya sementara basic dari agama adalah berbeda dengan filsafat maupun ilmu pengetahuan?
Oleh yang meyakininya, agama bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Agama merupakan dogma, yang mana tanpa harus dibuktikan kebenarannya, seseorang sudah percaya dan yakin dengan kebenaran itu. Kebenaran agama merupakan kebenaran absolut tanpa harus terlebih dahulu dibuktikan dengan fakta dan akal, sementara ilmu pengetahuan dan filsafat adalah sebaliknya. Ilmu pengetahuan dan filsafat baru dapat diterima kebenarannya jika dapat dibuktikan dan diterima oleh akal manusia. Agama bersumber dari wahyu, sementara ilmu pengetahuan dan filsafat bersumber dari akal.
Di satu sisi, cukup banyak ulama konservatif yang melarang seorang Muslim untuk mendalami filsafat. Pada umumnya, para ulama tersebut khawatir kalau-kalau iman seseorang akan tereduksi oleh filsafat itu.
Pada sisi yang lain, tidak sedikit pula para filsuf yang dengan terbuka mengkritik atau bahkan menghujat agama. Menurut sebagian filsuf, agama adalah sesuatu yang bertentangan dengan akal, bahkan ada yang menganggapnya sebagai candu, angan-angan orang-orang tak berdaya semata, dan sebuah upaya pengekangan kebebasan atau pembodohan. Faktanya, memang cukup banyak filsuf yang berfaham atheis, agnostik, atau libertarian.
Pun halnya dengan ilmu pengetahuan, cukup banyak pula yang mempertentangkan agama dengan ilmu pengetahuan. Diantara keduanya memang bukan tanpa perbedaan. Perbedaan itu bukan hanya dari aspek sumber, melainkan produk kajian dari ilmu pengetahuan itu. Produk yang aku maksud ini khususnya dalam hal penciptaan manusia dan alam semesta.
Dalam ilmu biologi, misalnya, dikenal teori evolusi dengan survival of the fittest-nya. Teori evolusi jelas bertentangan dengan teori penciptaan manusia sebagaimana yang diajarkan dalam tiga agama samawi. Seperti yang sudah umum diketahui, teori evolusi berpendapat bahwa manusia berasal dari makhluk sejenis primata yang mengalami perubahan demi perubahan dalam tubuhnya sedikit demi sedikit dan dalam waktu yang lama. Ini jelas bertentangan dengan ajaran agama. Dalam agama, dikenal sejarah (atau dongeng menurut sebagian filsuf) tentang Adam dan Hawa. Mereka berdualah yang oleh agama diklaim sebagai manusia pertama yang diturunkan Tuhan ke dunia dan menjadi nenek moyang semua umat manusia.
Pun halnya dalam ilmu fisika. Salah satu kajian fisika adalah perihal alam semesta. Maka, salah satu konsekuensinya adalah munculnya teori-teori mengenai terciptanya alam semesta itu. Cukup banyak ilmuwan fisika yang berpendapat bahwa alam semesta muncul dengan sendirinya dan tidak memerlukan campur tangan Tuhan. Stephen Hawking mungkin yang paling tenar diantara para ilmuwan itu. Dalam bukunya, The Grand Design, cukup jelas dipaparkan pemikirannya mengenai terciptanya alam semesta raya. Ia berpendapat bahwa tidak perlu campur tangan Tuhan, alam semesta akan tercipta dengan sendirinya.
Apapun itu, meski memiliki pandangan berbeda, aku cukup menghormati pemikiran Hawking itu. Seorang ilmuwan, ketika merumuskan sebuah teori, tentu bukan tanpa argumen yang kuat. Aku yakin, Hawking tidak sembarangan dengan teorinya.
Demikian juga dengan pemikiran para filsuf atheis atau agnostik, mereka pun sudah pasti memiliki argumen yang menurut mereka cukup mendasar pula sehingga tidak alasan untuk tidak menghormati mereka.
Aku pribadi lebih memilih mencari jalan tengah dari perbedaan pandangan itu. Aku tetap mempelajari agama, tetap mempelajari ilmu pengetahuan, dan tetap mempelajari filsafat. Menurutku, seandainya ketiganya dipadukan, justru akan sangat berguna bagi kehidupanku ke depannya.
Seandainya aku melulu mempelajari agama dan mengabaikan ilmu pengetahuan dan filsafat, maka kehidupanku di dunia sudah pasti minim aktivitas dan kreasi. Seandainya aku mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat sementara agama aku kesampingkan, maka sudah pasti kehidupanku minim moral dan rohani.
Aku mempelajari ketiganya untuk saling menyempurnakan. Agama lebih mengatur masalah ketuhanan dan moral. Di dalamnya memang ada perintah untuk berpikir dan bekerja, namun demikian tidak ada petunjuk praktis bagaimana cara berpikir dan bekerja itu sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal. Untuk menutupi itu, dibutuhkan pula ilmu pengetahuan. Adalah mustahil seseorang berhasil menciptakan sesuatu (sistem atau alat) yang berguna untuk manusia tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan.
Agama bukan hanya sekadar teks-teks semata. Untuk mempelajari esensi yang sebenarnya dari ajaran-ajaran agama dibutuhkan pemikiran yang luas dan melihat dari berbagai sisi. Untuk itu, dibutuhkan pula filsafat sebagai petunjuk bagaimana memikirkan dan mempelajari ajaran agama-agama itu. Dengan demikian, agama tidak dipahami secara tekstual dan sepotong-sepotong saja. Metode berpikir kritis, objektif, dan analitis sebagaimana yang diajarkan dalam filsafat, sangat diperlukan dalam mendalami ajaran agama.
Sementara itu, ilmu pengetahuan dan filsafat juga belum mampu menjangkau hal-hal yang sifatnya ghaib. Untuk itu, terkait sesuatu yang berhubungan dengan ketuhanan dan hal-hal metafisika lainnya, aku memilih bersandar pada agama. Pun juga terkait ajaran moral dan spiritual, porsi agama berperan sangat besar dalam hidupku, meski juga aku tidak menampik bahwa ada sebagian porsi yang merupakan produk dari pemikiran filsafat.
Khusus tentang penciptaan manusia dan alam semesta, aku lebih memilih dogma agama sebagai pedomanku. Biarlah ilmuwan-ilmuwan itu terus berkutat pada teori evolusi atau The Grand Design-nya Stephen Hawking, toh juga itu hanya sebatas teori.
Agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat, aku ingin ketiganya berjalan secara padu sehingga berpengaruh positif pada pemikiran dan perilakuku. Aku ingin menjadi orang baik dan bijak dengan ketiganya.
Agama bersumber dari wahyu, ilmu pengetahuan dan filsafat bersumber dari akal. Sementara wahyu dan akal, keduanya berasal dari Tuhan. Oleh karenanya, mempelajari ketiganya merupakan ibadah.
Jadi, tidak ada salahnya kan kalau aku berupaya memadukan ketiganya? Toh semuanya berasal dari Tuhan.......

0 komentar:

Posting Komentar